Bulan Terus Mengerut, Menyusut dan Retak Seperti Kulit Kismis


Data gabungan dari misi Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA Apollo dan Lunar Reconnaissance Orbiter menunjukan ternyata Bulan secara aktif menyusut. Satelit Bumi ini menghasilkan gempa di sepanjang ribuan tebing patahan atau sesar yang tersebar di permukaannya. Patahan tersebut kemungkinan menyebabkan kerak dan permukaan Bulan menyusut, mengerut dan retak seperti kulit kismis.

Menurut ahli NASA, Bulan mengerut seperti kismis ketika bagian dalamnya mendingin. Sama seperti buah anggur yang mengerut saat menyusut menjadi kismis, Bulan juga berkerut saat menyusut.

Tidak seperti kulit fleksibel pada buah anggur, kerak permukaan Bulan rapuh. Akibatnya saat Bulan menyusut, permukaanya pecah membentuk "thrust faults" di mana satu bagian kerak didorong ke atas bagian yang berdekatan dan menjadi patahan.

Lereng patahan ini menyerupai tebing kecil berbentuk anak tangga jika dilihat dari permukaan Bulan. Biasanya setinggi puluhan meter dan memanjang beberapa kilometer.

Astronaut Eugene Cernan dan Harrison Schmitt harus zig-zag saat menjelajahi permukaan Bulan. Mereka ke atas dan melewati permukaan tebing lereng sesar selama misi Apollo 17 yang mendarat di lembah Taurus-Littrow pada 1972.

Menurut analisis, hal itulah yang membuat Bulan menyusut, menjadi lebih dari sekitar 150 kaki (50 meter) lebih kecil selama beberapa ratus juta tahun terakhir. Laporan analisis tersebut telah diterbitkan di jurnal Nature Geoscience dengan judul "Shallow seismic activity and young thrust faults on the Moon" dan dapat diakses secara daring.

Thomas Watters, penulis utama mengatakan, analisis mereka adalah yang pertama memberikan bukti pertama bahwa patahan di Bulan masih aktif. Watters adalah ilmuwan senior di Center for Earth and Planetary Studies at the Smithsonian's National Air and Space Museum in Washington.

"Analisis kami memberikan bukti pertama bahwa patahan ini masih aktif dan kemungkinan menghasilkan gempa Bulan hari ini karena Bulan terus mendingin dan menyusut secara bertahap," kata Watters, dalam rilis NASA.

"Beberapa dari gempa ini bisa cukup kuat, sekitar lima skala Richter."

Tim peneliti kemudian merancang algoritma baru untuk menganalisis kembali data seismik dari instrumen yang didapati oleh misi Apollo NASA di tahun 1960-an dan 70-an. Analisis mereka menyediakan data lokasi pusat gempa yang lebih akurat untuk 28 gempa di Bulan yang direkam dari tahun 1969 hingga 1977.

Watters dan rekan peneliti selanjutnya menganalisis data dari empat seismometer yang ditempatkan di Bulan oleh astronot Apollo menggunakan algoritma, atau program matematika. Alat tersebut dikembangkan untuk menentukan lokasi gempa yang terdeteksi oleh jaringan seismik yang jarang.


Tim kemudian membandingkan data lokasi ini ke citra yang mereka dapatnya berdasarkan kedekatan gempa dengan patahan. Para peneliti menemukan bahwa setidaknya delapan dari gempa tersebut kemungkinan dihasilkan dari aktivitas tektonik atau pergerakan lempeng kerak di sepanjang patahan, bukan dari dampak asteroid atau goncangan di dalam Bulan.

Meskipun instrumen Apollo mencatat gempa terakhir mereka tak lama sebelum instrumen itu pensiun pada tahun 1977, para peneliti memperkirakan bahwa Bulan kemungkinan masih mengalami gempa hingga hari ini.

Para peneliti juga menemukan bahwa enam dari delapan gempa terjadi ketika Bulan berada di atau dekat apogee-nya, titik di orbit Bulan ketika itu paling jauh dari Bumi. Di sinilah tekanan pasang surut tambahan dari gravitasi Bumi menyebabkan puncak total tarikan pada kerak bulan, membuat kemungkinan pergerakan lempeng menjadi lebih mungkin.

Bukti lain bahwa patahan ini aktif berasal dari gambar Bulan yang sangat detail oleh pesawat antariksa Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) NASA. Lunar Reconnaissance Orbiter Camera (LROC) telah memotret lebih dari 3.500 lereng sesar.

Beberapa gambar juga menunjukkan tanah longsor atau bongkahan batu besar di dasar lembah yang relatif terang hingga lereng lereng sesar atau daerah sekitarnya. Pelapukan dari radiasi matahari dan ruang angkasa secara bertahap menggelapkan material di permukaan Bulan, sehingga area yang lebih terang menunjukkan wilayah yang baru terpapar ke luar angkasa.

Untuk diketahui, Bulan bukan satu-satunya objek langit di tata surya kita yang mengalami penyusutan seiring bertambahnya usia.

Merkurius memiliki patahan yang sangat besar, panjangnya hingga sekitar 1.000 kilometer dan tingginya lebih dari 3 kilometer. Patahan itu secara signifikan lebih besar dibandingkan ukurannya dibandingkan dengan yang ada di Bulan, menunjukkan bahwa ia menyusut jauh lebih banyak daripada Bulan.

"Sungguh luar biasa melihat bagaimana data dari hampir 50 tahun yang lalu dan dari misi LRO telah digabungkan untuk memajukan pemahaman kita tentang Bulan sambil menyarankan ke mana misi masa depan yang bermaksud mempelajari proses interior Bulan harus pergi," kata Ilmuwan Proyek LRO John Keller dari Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland.

Comments

Popular posts from this blog

Legenda Hibagon

Apa itu misteri kotak pandora?

Suara aneh dan menakutkan di hutan Kanada